Jumat, 05 Juli 2013

Mendaki Semeru, Paska Jadi Pemeran Utama Film 5cm (Bagian 1)

Mati Salvinia Molesta, Tumbuh Verbenaria Brasiliesis


Aura di Lautan Pasir Gunung Bromo, kawasan ini bisa disinggahi dengan menuruni Jemplang
Gunung Semeru, yang memiliki Mahameru sebagai atap pulau Jawa, makin terkenal sejak film 5 cm dibuat. Gunung setinggi 3.676 meter diatas permukaan laut (mdpl). tersebut, kian ramai didaki oleh perempuan-perempuan cantik. Mereka datang karena tahu, Semeru setelah menonton film 5 cm, lantas bagaimana kondisi alamnya sekarang?

Magnet alam ini bernama Semeru. Memiliki tanjakan nan terkenal, bernama tanjakan cinta. Awal Juni lalu, saya mewakili Malang Post berkesempatan mendaki atap pulau Jawa itu. Bersama rombongan Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNBTS), Bappenas dan sejumlah jurnalis.
Saya mendaki bersama Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Kemenneg PPN/Bappenas Basah Hernowo. Juga Ayu Dewi Utari, Kepala BB-TNBTS, alias “penguasa” kawasan pegunungan yang kami injak hari itu. Dari titik start, tim Bappenas, BB TNBTS dan Tim Jurnalis berangkat bareng-bareng. Namun, akhirnya tim jurnalis tertinggal jua, nafas kami “habis” di tanjakan menuju landengan dowo. Maklum saja, kami membawa beban yang cukup berat, carrier 120 liter di punggung (ngeles, hehe).
Harus diakui, pendakian kali ini, tergolong cukup cepat dan berat, ini adalah pendakian express. Kami hanya diberi waktu mendaki Puncak Mahameru dua hari satu malam! (gilaaak gak tuh)

Ranu Pani ketika masih ditumbuhi Salvinia Molesta
Rombongan kami tiba di Ranupani (basecamp Semeru), Senin (3/6), sekitar pukul 15.00. Turun dari Elf, kemudian menaruh carrier  (tas punggung) di cottage BB TN BTS di pinggir Ranu Pani (danau Pani). Cottage ini begitu strategis, persis di depan jendela kamar adalah dermaga Ranu Pani. Halaman cottage kami adalah danau!
Sekitar enam bulan sebelumnya saya pernah singgah di Ranu Pani. Kala itu, masih banyak Kiambang atau Salvinia Molesta. Sejenis paku air yang tumbuh menutupi permukaan danau. (baca di http://batikimono.blogspot.com/2012/09/berpacu-menyelamatkan-ranu-pani.html)

Nanda dan Aura di basecamp Pendakian
Kami foto narsis di dermaga dalam formasi lengkap, tim jurnalis : Abdi Purmono alias bang Abel yang nsudah mendaki Fuji di Jepang (http://batikimono.blogspot.com), Hari Istiawan Okezone, Dyah Ayu Pitaloka Jakarta Globe, Iksan Surya, Erik Republika, fotografer Kompas dan reporter RRI. Puas disana, kami menyusuri pinggiran Ranu Pani yang berpaving. Tujuan jalan santai ini adalah Ranu Regulo yang berjarak sekitar 1 km, jalannya paving semua.
Kamera D-SLR tak pernah lepas dari genggaman tangan. Puluhan frame kami jepretkan sore itu, mengabadikan langit yang sedang bercermin di muka Danau Regulo, amboi… Mengincar lingkaran air yang terbentuk akibat lemparan sebutir batu diatas air, dari dermaga Ranu Regulo. (Ranu berarti danau)
Waktu seperti terbunuh di danau ini, meninggalkan jejak peradaban, kemacetan kota dan seabreg hiruk pikuk masyarakat modern lainnya. Aku lupa hutang-hutangku..hehehe. Tapi, aku ingat anakku (Ananda Alma Bella Wicaksono dan Aura Putri Wicaksono), ingat istriku (Anisatus Soliha). Mereka pernah aku ajak menikmati indahnya Ranu Regulo, bercanda seharian di bukit teletubbies dan lautan pasir Gunung Bromo. 

Formasi lengkap di Ranu Regulo
Tiba-tiba, dengan tergopoh, seorang petugas TN BTS mendatangi kami. Waktu sudah menunjukkan angka 18.00. Rupanya, warga Ranupani, Pak Basah Hernowo dan Ayu Dewi Utari telah memulai pertemuan. Sebuah pertemuan untuk merancang system pelayanan pendakian Semeru sekaligus konsep pemberdayaan masyarakat. Gunung ini telah menjadi puri ziarah para pendaki, seperti mount everest di pegunungan Himalaya, ada sisi bisnis yang bisa dikembangkan.
Bersama kak Nanda


Dermaga Ranu Regulo
Mengikuti pertemuan dengan warga Ranupani hingga pukul 22.00, kemudian baru tidur pukul 00.00. Selasa Subuh, rombongan sudah bersiap naik ke Ranu Kumbolo.
Berangkat dari Ranupani pukul 06.00, melewati jalur konvensional (resmi). Dulu ketika mahasiswa, Malang Post mendaki lewat jalur Ayek-ayek, jalurnya para porter. Di jalur konvensional ini, sekarang sudah lebih bagus. BB TNBTS sudah membangun paving mendekati pos 2.
Sejam berjalan, kami sudah tiba di Landengan Dowo (2.270 mdpl), sebuah persimpangan jalur. Dari sini jalurnya masih berupa paving, namun berada di tepian jurang. Sedangkan di kanan jalur, didominasi tumbuhan hutan, terutama pohon akasia. Sejam kemudian kami tiba di pos 1, berupa bangunan pondok.
Puas istirahat disana, perjalanan kami lanjutkan. Sekitar 10 menit berjalan, paving jalan sudah habis, dari sinilah, nuansa pendakian mulai terasa. Kaki harus menyentuh medan tanah berbatu, kadang kala diselipi akar pohon.
Ambil nafas lalu narsis di Ranu Kumbolo
Jalur menuju Ranu Kumbolo ini sangat menarik. Pemandangan di sisi jalur tetaplah sebuah jurang. Lima kilometer dari Ranu Pani, sampailah kami di pos Watu Rejeng (2.300 mdpl), berupa hutan hujan dibawa dinding batu setinggi sekitar 100 meter.
Jalur dari Waturejeng ini, perlahan mulai menanjak, untuk menuju pos 3. Yang paling berat adalah tanjakan Bakri, persis di pos 3. Dinamai demikian karena yang membuat jalurnya adalah Pak Bakri, warga Ranupani.
Begitu lolos dari Tanjakan Bakri, maka siap-siap saja, anda menemukan danau besar nan indah. Saat itu, sisi jurang telah habis dan jalur mulai bertemu dengan himpitan punggungan bukit. Dari situ sudah mulai bisa ditemukan sekumpulan pohon Edelweiss. Ranu Kumbolo telah dekat.
Edelweiss mulai nampak di pintu masuk Ranu Kumbolo

Persis pukul 11.00, kami tiba di Ranu Kumbolo. Butuh waktu lima jam mendaki. Normalnya, Ranu Kumbolo setinggi 2.390 mdpl ini ditempuh sekitar 3 – 4 jam saja. Ranu Kumbolo, merupakan danau yang sangat indah, dikeliling punggung bukit dan sabana yang luas.
Di danau ini, pada musim tertentu, suhu udara bisa minus 20 derajat celcius.
Dari sini, sekitar pukul 12.15 kami menuju Kalimati. Melewati tanjakan cinta, dan tiba di hamparan sabana bernama Oro-oro Ombo. Sungguh indah, saat ini di kawasan itu hidup tumbuhan mirip lavender dan sedang berbunga.
’’Kami menduga, bunga ini bawaan dari luar negeri,’’ ujar Kepala Resort Ranu Pani BB TNBTS, Yohanes Cahyo.
Melewati Oro-oro ombo seluas lima hektare, kami disuguhi pemandangan alam mirip Eropa. Pohon pinus berjajar, nun jauh disana juga ada sekumpulan hutan Cemara. Setelah istirahat sejenak di Cemoro Kandang (2.500 mdpl), kemudian melaju ke Jambangan (2.700 mdpl).
Bunga mirip lavender bernama Verbenaria Brasiliesis terbentang di sabana tersebut. Dari kejauhan warnanya ungu muda. Namun ketika angin bertiup dan bunganya bergerak, warnanya berubah menjadi pink. Di belakang Oro-oro Ombo terdapat gunung besar bernama Gunung Kepolo, Mahameru masih mengintip malu-malu.
Oro-oro Ombo, disini tumbuhan Verbenaria Brasiliesis mulai berekpansi

 ’’Bunga-bunga seperti ini lazimnya berada di Amerika Selatan. Entah kenapa bisa sampai disini. Mungkin dibawa orang, kelihatannya memang dekat dengan lavender,’’ imbuh Cahyo sapaan akrabnya.
Saat turun ke sabana itu, kebetulan ada sepasang bule baru turun dari arah Kalimati. Mereka memanfaatkan momen indah itu dengan berfoto bersama. Ketika ditanya, sang gadis mengaku berasal dari Swedia.
Sampai di ujung sabana, sebuah pohon roboh menjadi pilihan untuk istirahat. Pos itu bernama Cemoro Kandang, perhentian sebelum menuju Kalisat dan Jambangan. Keindahan sesungguhnya Mahameru baru tampak, nanti setiba di Jambangan.
Kawasan itu, konon memiliki kandungan mineral yang sangat banyak. Pesona alamnya adalah Mahameru yang berdiri begitu megah. Kadangkala dia menghembuskan awan panas dari Kawah Jonggring Saloko. Hembusannya mirip cendawan, mirip pula gumpalan tinju.

 Setengah jam kemudian, tibalah saya di Kalimati, secara resmi tiba pukul 16.30. Total kami berjalan dari Ranu Kumbolo sekitar 4 jam 45 menit. Biasanya, Kalimati menjadi pilihan basecamp pendakian, karena dekat dengan sumber air bernama Sumber Mani. Jarak tempuhnya sekitar dua jam perjalanan pulang pergi.
Dari sini, tim TN BTS dibantu sejumlah porter telah menyiapkan tenda dan makanan. Targetnya, pukul 00.00, rombongan akan dibawa mendaki ke Mahameru. Waktu normalnya enam jam. Kami sendiri naik pukul 23.35 dan tiba pada Rabu (5/6) pukul 06.45. (Bagus Ary Wicaksono)
Sudah dipublikasi di Malang Post terbitan  12 Juni 2013 (lihat juga di http://www.malang-post.com/feature/68467-gunung-semeru-pasca-jadi-peran-utama-film-5-cm-habis)




Kak Nanda bermain di halaman Gunung Bromo
Berfoto dengan latar belakang Bukit Teletubbies