Kamis, 20 Desember 2012

Muljanto, Penjaga Candi Bergaji Rp 10 ribu Perbulan



Bagus Ary Wicaksono
Teks foto : BERSAHAJA : Muljanto (53 tahun) penjaga Candi Bocok Di Desa Pondokagung Kecamatan Kasembon, karirnya dimulai dari gaji Rp 10 ribu per bulan.
Simpan Arca di rumah agar tidak dicuri orang

Muljanto 


Ditawari Rp 250 Juta Untuk Lepas Arca Dewi Parwati

Muljanto (53 tahun) pernah menolak uang Rp 250 juta untuk seonggok batu berukir peninggalan jaman kerajaan. Pria yang tinggal  di perbatasan Kabupaten Malang dan Kediri, adalah penjaga Candi Bocok. Candi itu terletak di Desa Pondokagung Kecamatan Kasembon, desa paling ujung di selatan kecamatan.
Perjuangan pak Mul, sapaan akrabnya untuk mnejadi juru kunci candi, patut diacungi jempol. Sebelumnya, tidak pernah ada juru kunci yang bertahan hingga bertahun-tahun, karena gaji tidak jelas. Mul sendiri, bertekad menjadi penjaga candi setelah mendapat wekas (pesan) dari kakeknya, alm.Karto Taslim (eks Bayan Pondokagung).
“Oleh simbah, saya diwekas agar menjaga candi, karena tidak ada orang yang bersedia, katanya ditelateni saja,” ungkap Mul kepada saya.
Maka pada tahun 1980, Muljanto resmi menjadi penjaga candi dengan bayaran Rp 10 ribu per bulan. Namun berbekal pesan kakeknya, pria ramah itu dengan senang hati menjalani tugasnya. Sampai akhirnya dia diangkat menjadi pegawai negeri pada tahun 2006.
“Sebelum menjadi pegawai negeri, tahun 2000-an saya pernah ditawari Rp 250 juta untuk menjual arca Dewi Parwati,” kenangnya.
Saat itu, seorang pria datang ke rumahnya, dan menawarkan uang ratusan juta agar dirinya bersedia melepas arca Dewi Parwati. Bahkan dirinya juga akan diantar ke dealer sepeda motor untuk memilih sepeda motor baru. Ketika itu sosok misterius itu mengaku sudah menyiapkan arca duplikat Dewi Parwati.
”Benar juga pada tahun 2001 dan 2002, patung itu dicuri, namun akhirnya mereka tertangkap polisi dan sempat direkonstruksi di candi ini,” ungkapnya.
Para pencuri itu terbilang nekad, mereka menggempur arca Dewi Parwati supaya kakinya putus. Mengingat kaki arca itu lebih kecil dari pada tubuhnya, namun aneh, justru badannya yang terpotong. Kawanan kemudian mengangkat patung tersebut, tapi ditengah hutan mereka tak sanggung karena arcanya berat.
”Di Polisi, saat itu mereka mengaku sudah ada orang yang menghargai Rp 1,5 miliar untuk arca Dewi Parwati,” imbuh Muljanto.
Makanya, sejak saat itu, kemudian arca Dewi Parwati disimpan didalam rumah seorang tokoh desa bernama Ramelan. Sedangkan, Muljanto sendiri menyimpan arca Siwa didalam salah satu kamar di rumahnya. Sampai saat ini tak terhitung lagi orang yang datang untuk menawar arca itu.
“Ada yang pura-pura mencari nomor togel, tapi lama-lama menawar arca itu, saya tidak akan tergoda, ini adalah tugas negara,” tegasnya.
Sejak ada arca dipindah ke dalam rumah, tak ada hal gaib yang dialami oleh Muljanto sekeluarga. Justru, seorang penjual kerupuk keliling yang pernah melihat sosok laki-laki berbaju seperti raja. Sosok itu berada di depan rumah Muljanto, sang penjual kerupuk kemudian menanyakan hal itu kepada tetangga sang juru kunci.
“Setelah dijawab bahwa didalam rumah saya ada mbah Ageng, barulah si penjual kerupuk sadar bahwa dia melihat sosok gaib,” ujarnya sambil terkekeh.
Lain Muljanto, lain lagi Ramelan, yang menjaga arca Dewi Parwati di kamar rumahnya. Dia sering didatangi oleh perempuan cantik yang mengenakan kemben, kemudian sosoknya hilang masuk ke kamar. Arca itu dia simpan, juga atas wekas (pesan) dari ayahnya, Mbah Siin.
“Ayah saya termasuk tim yang mencari arca hilang pada tahun 1973, ketika ada pencurian,” ungkapnya.
Menurut Ramelan, tidak sembarang orang boleh memotret arca itu, atas alasan keamanan. Saya termasuk istimewa sebab berhasil masuk tanpa harus mencari surat dari desa. Biasanya, orang dinaspun harus membawa surat perintah dari desa untuk bisa melihat arca tersebut.(Bagus Ary Wicaksono)

Watu Gilang, Benteng Hilang Jaman Singhasari

Bagus Ary Wicaksono
MISTERIUS : Situs Watu Gilang di kawasan hutan perbatasan antara Kecamatan Pujon dan Ngantang, menjadi jujugan para pencari pesugihan.

sering ditemukan koin kuno

peninggalan Singhasari

Nun jauh di pedalaman Pujon, terdapat situs Watu Gilang yang belum banyak dijamah oleh masyarakat luas. Aksesnya cukup sulit, hanya sepeda motor yang mampu menembus hingga ke situs bersejarah itu. Membutuhkan waktu sekitar setengah jam diatas sepeda motor untuk sampai ke areal tersebut.

Pada tahun 1993, pemberitaan di media massa mengenai penemuan bangunan kuno sempat menggegerkan masyarakat. Jawa Pos pada Jumat Wage 19 Februari 1993 juga memuat berita mengenai situs Watu Gilang beserta fotonya. Ada dugaan, kawasan tersebut merupakan bekas areal pertempuran antara Singhasari dan Kerajaan Kediri.
Sebab pada masa Kertanegara, Jayakatwang Bupati Gelang-gelang menyerang Singhasari dari berbagai sisi. Pertama dia menerjunkan pasukan untuk menyerang dari sisi utara sebagai pancingan, kemudian menyerang dari arah selatan. Itu merupakan aksi balasan atas penyerangan masa lalu Ken Arok ke Kadiri melalui Desa Ganter (dekat Pujon).
Kenapa aksi peperangan di lokasi itu diduga terjadi ketika masa Jayakatwang, sebab pernah ditemukan koin China di kawasan tersebut. Koin tersebut diduga dari jaman Dinasti Ming yang didirikan oleh Kublai Khan. Sejarah mencatat, Kublai Khan sempat membantu Raden Wijaya mengalahkan Kadiri.
Diduga pasukan tempur mereka melewati kawasan Pujon untuk mencapai Kediri dalam gelombang besar. Paling tidak, dua penemuan besar koin China membuat sejumlah warga Pujon kaya mendadak. Nah, koin itu ditemukan di sekitar areal Watu Gilang yang juga menjadi komplek makam kuno.
Watu Gilang sendiri merupakan sebuah tembok setinggi empat meter dengan panjang sekitar 27 meter. Posisinya diatas puncak gunung dan berbatasan dengan gunung Dworowati di sisi selatan. Di tempat itu, diperkirakan terjadi perang panah antara tentara gabungan sisa laskar Singhasari dan Kediri.
Banyak sekali makam diatas maupun dibawah Watu Gilang, keseluruhan memiliki nisan batu besar berbentuk persegi panjang. Darimana batu-batu itu dibawa, hal itu juga masih menjadi misteri. Akan tetapi berdasarkan temuan di sekitar hutan tersebut, masih terlihat ada batu besar seperti sisa letusan Gunung Berapi jaman kuno.
Nah, Watu Gilang sendiri paling dekat ditempuh melalui Kecamatan Pujon menuju Pasar Mantung. Setelah jembatan Mantung, anda tinggal belok kanan naik menuju Desa Ngabab. Dari sana, tanya saja Watu Gilang, maka tak lama akan datang tukang ojek menawarkan jasa.
Jika tak mengendarai sepeda motor, maka ojek adalah pilihan terakhir menuju situs Watu Gilang. Anda harus rela merogoh kocek cukup dalam, sebab ongkos pulang-pergi Ngabab ke Watugilang mencapai Rp 50 – 60 ribu per orang. Kendati di pedalaman, ternyata tempat itu ramai dikunjungi orang dari berbagai kota di Indonesia, untuk tujuan mencari kekayaan.
”Orang-orang yang kesini banyak datang untuk pesugihan,” ujar Udin, tukang ojek yang mengantar Kota Wisata.
Narsan, tukang ojek lainnya mengatakan, dirinya mendapatkan penghasilan tambahan pada Kamis Kliwon. Saat itu dipastikan sejumlah orang akan datang untuk nepi di Makam Mbah Semuo. Cerita rakyat di Desa Ngabab, Mbah Semuo tak lain adalah ayahanda Anglingdharma.
”Lumayan, kalau Kamis Kliwon bisa 10 orang yang naik ke Watu Gilang,” jelasnya.
Situs tersebut, kini diurus oleh juru kunci bernama Cukup Sudarsono, sekaligus tokoh spiritual setempat. Dia menjaga situs itu sejak tahun 1976 secara turun temurun dari kakeknya Nitiseno. Pada tahun 1990-an, Cukup kemudian diangkat oleh BP3 Trowulan sebagai penjaga situs.
”Sebelumnya situs yang merawat mbah saya pada jaman Belanda yakni Nitiseno jadi Pel Polisi Jaga Wana (mantri hutan),” katanya.
capek juga mendaki bukit

Megah

Juru Kunci

jalur Watu Gilang

 Makam Kuno Yang Jadi Jujugan Pemburu Harta

makam kuno

Di situs itu, orang-orang yang dikebumikan di makam kuno adalah tokoh-tokoh sakti mandarguna. Dia menyebut makam paling utama adalah Mbah Semuo, bapaknya Anglingdharma kemudian Singo Wareng, Ronggowuni, Mbah Melati murid Mbah Semuo dan Kyai Ageng Gringsing.  
”Juga ada makam Ronggojati, Sutejo Anom, Rojo Mulyo, Syeh Abdul Khodir Jaelani, Syeh Subakir dan Syeh Maulana malik Ibrahim serta Ki Ageng Serang juga disitu,” terangnya.
Cukup enggan mengakui bahwa kebanyakan yang berziarah ke situs Watu Gilang untuk mencari pesugihan. Akan tetapi secara tersirat dia menegaskan bahwa kebanyakan orang datang untuk keberhasilan kerja. Orang Ziarah dari seluruh Indonesia, Bengkulu bahkan hingga Kalimantan.
”Informasi dari gethok tular, kalau kerja berhasil maka akan diikuti orang. Yang berhasil nyuwun kerja lancar dan kaya,” tukasnya.
Untuk itu, tamu ziarah wajib membawa bunga telon 10 bungkus, minyak fanbo, dupa gunung kawi dan menyan madu merah per satu orang. Cukup sendiri, meskipun melalui mata batin membenarkan bahwa tempat itu dulu menjadi ajang pertempuran Singasari. Buktinya, di kawasan itu masih ada jalur kuno yang menjadi jalan masa lalu menuju langsung ke Singhasari.
Untuk tiba ke Watu Gilang, harus ekstra hati-hati ketika melewati jalur offroad yang hanya cukup untuk satu sepeda motor. Jalur akan makin naik ke arah puncak bukit yang diselimuti kabut tipis. Aura magis langsung terasa saat berada di pintu masuk Watu Gilang, sebuah kuburan dan kolam kuno sudah menyambut kita.
Di depan situs itu sudah tersebar beberapa makam kuno dan sebuah tangga batu persegi. Watu Gilang jelas terlihat, bentuknya yang besar bagai tembok raksasa untuk benteng sebuah kerajaan. Ada jalan setapak yang menuju ke makam utama Mbah Semuo serta makam para tokoh lainnya.
Dari makam-makam yang ada di tempat itu, hanya makam Mbah Semuo yang diberi rumah-rumahan. Disamping makam terdapat jalur setapak menuju Goa Dworowati nun jauh diatas puncak gunung lainnya. Disisi depan makam terdapat jalur kecil menuju puncak lainnya berjarak sekitar 50 meter dengan halaman sebuah jurang sangat dalam.(Bagus Ary Wicaksono)