Selasa, 12 Agustus 2014

Kitsch di Kampung Adat Sindangbarang

Tulisan ini menjadi bagian dari kunjungan saat saya mengikuti Sekolah Jurnalisme Kebudayaan angkatan kedua tahun lalu, di Batu Tulis Bogor. Dalam sebuah kesempatan, perwakilan wartawan dari seluruh nusantara diajak berkunjung ke kampung Adat Sindangbarang.
Pertunjukan seni tradisi yang ditampilkan di Kampung Adat Sindangbarang Desa Pasir Eurih Kecamatan Tamansari Bogor, mulai membias dari esensinya. Hal tersebut nampak dari sajian angklung gubrag maupun seni silat Cimande yang dipertontonkan kepada pengunjung. Pertunjukan tersebut, sekedar penunjang keberadaan kampung proyek revitalisasi itu.
Muncul kekhawatiran, sajian angklung gubrag dan seni silat di tempat itu, hanya sekedar pemanis revitalisasi. Jika hal demikian benar -benar terjadi, keduanya bisa menjadi kitsch (baca, sekedar kemasan) semata. Dipertontonkan, sekedar mengikuti keterbatasan waktu para wisatawan.
Revitalisasi Kampung Adat Sindangbarang menelan dana Rp 750 juta, pada tahun 2006. Dana dihibahkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dasarnya, Singdangbarang disebut sebagai kampung adat tertua di Bogor. Versi naskah Pantun Bogor dan Babat Pajajaran. Adapun bukti material Sindangbarang adalah kampung adat tertua dan bagian Kerajaan Pajajaran, ditandai dengan keberadaan sejumlah situs penting. Sebut saja, Taman Sri Baginda dan Sumur Jalatunda yang berada di Jalan Kapten Yusuf.
Sepanjang jalan menuju Sindangbarang, berupa kontur kemiringan kaki Gunung Salak. Jalur kendaraan merupakan jalan desa yang sempit. Jika ada dua mobil berpapasan, maka salah satu harus mengalah. Kontur khas pegunungan kian terasa, menjelang Jalan Sumawijaya. Kondisi Jalan berkelok-kelok, bahkan adapula tikungan menanjak yang patut diwaspadai.
Dominasi persawahan penduduk menunjukkan identitas masyarakat Sindangbarang, mayoritas bergerak di sektor agraris. Tak heran masyarakat memiliki budaya angklung gubrag, sebagai ritual tanam padi perdana agar panen melimpah. Tapi kini, nampaknya komoditasnya sudah berbeda, tak lagi padi, melainkan manusia.
Pada ujung tanjakan, sejumlah perempuan desa berpakaian adat siap menyambut. Mereka merupakan kelompok seniman angklung gubrag dari Cipining. Ada sekitar delapan perempuan memainkan angklung, dipimpin satu perempuan pembawa kendang panjang. Dalam tradisi aslinya, angklung gubrag ini dimainkan ketika musim menanam padi saja.
Mereka mengenakan baju adat Sunda, atasan dan bawahan hitam, dipadu kain jarik serta ikat kepala ala sunda. Bahkan angklung mereka juga sama seperti tradisi asli, di ujungnya terdapat empat ikatan batang padi. Lantas dimana letak bias budaya pada pertunjukan angklung tersebut?
Tiada yang salah dalam hal benda budaya yang mereka mainkan dan kenakan. Hanya saja, seniman tak lagi memainkan ansambel untuk benih padi, tapi untuk manusia. Sesuai tradisi lama, seharusnya musik itu hanya dimainkan pada saat musim tanam padi. Seharusnya ditandai pula dengan ritus Pupuhu yang memberi ajimat atau doa pada benih pertama.
Usai mendapat sambutan meriah dari para seniman angklung gubrag, wisatawan cukup menempuh jarak sekitar 200 meter menuju pintu masuk kawasan Kampung Adat Sindangbarang. Kawasan seluas sekitar 8.6 00 meter persegi disulap menjadi kampung kuno. Ditandai dengan struktur dan bangunan tradisional sunda, sesuai gambaran dalam naskah Pantun Bogor.
Bangunan dan struktur tersebut berderet rapi membentuk huruf U. Areal kosong ditengah huruf, difungsikan sebagai alun-alun. Lesung penumbuk padi, ditempatkan dekat pintu masuk dibawah bangunan tanpa tembok. Secara berjajar berdiri enam Leuit atau disebut sebagai lumbung padi.
Dana Rp 750 juta, juga digunakan untuk membangun rumah adat untuk kokolot (tetua) berupa Girang Serat. Termasuk membangun balai pangriungan (balai pertemuan), saung lisung yang difungsikan untuk pesanggrahan tamu. Adapun yang paling menonjol adalah Imah Gede, ini bangunan utama yang ditempati Pupuhu (kepala Kampung Adat Sindangbarang Maki Sumawijaya.
Rumah kepala adat tersebut, menyesuaikan dengan strata sosialnya. Di kampung itu, Imah Gede ditempatkan di lokasi paling strategis, Imah berada di tanah yang lebih tinggi. Ketika sang Pupuhu duduk di teras Imah, maka seluruh kawasan berada dalam jangkauan matanya.
Alun-alun berfungsi pula untuk pertunjukan kolosal. Dalam durasi pendek, pertunjukan selanjutnya adalah seni silat. Pagelaran dimulai, ketika nayaga (seniman gamelan) mulai memainkan Kidung Rahayu. Durasi kidung untuk penyambutan tamu itu, berlangsung sekitar lima menit.
Sementara itu, dua pesilat laki-laki dan perempuan sudah siap turun ke areal pertunjukan. Pesilat perempuan, Ning Vera, mempertontonkan silat pengembangan Cimande dari Mulyaharja, yakni tepak dua. Gerakan perpindahan kaki selalu diikuti dengung gong dan kendang. Silat lebih agresif ditunjukkan oleh pesilat laki-laki, Ari, dengan tepak tujuh.
Meski berbeda jurus, kedua gerakan pesilat itu, tetap mengikuti gendang pencak. Terdiri dari gong, Kemprang (kendang laki-laki) dan Gedug (kendang perempuan). Pemain Kemprang memainkan pula dua kendang kecil yang disebut Kulanter. Sedangkan pemain Gedug hanya dilengkapi satu Kulanter.
Yang mengendalikan ansambel tersebut, adalah tiupan terompet Yas Sasmita asal Mulyaharja. Dia datang ke Sindangbarang sesuai panggilan pengelola, ketika wisatawan tiba. Termasuk juga mengiringi Silat Cimande yang kemudian disajikan Kokolot Sindangbarang Ukut Sukatma dan satu pesilat lain.
Silat Cimande, biasanya dimainkan dalam tradisi pernikahan orang Sunda. Pesilat dari pihak pengantin laki-laki datang menggendong dandang penanak nasi. Dandang itu yang harus ditendang hingga jatuh oleh pesilat pihak calon pengantin perempuan.
Ritual untuk pengantin inipun juga berasal dari pergeseran tradisi. Sebab, pada masa Kerajaan Pajajaran, Cimande dipakai untuk adu Jaken para petarung. Pada perkembangan kekinian, juga sekedar hiburan wisatawan.
Meski sebatas kemasan wisata, namun para pesilatnya, tetap mempertahankan tradisi lama. Apapun acaranya, Silat Cimande harus dimainkan sungguhan. Tiada drama dalam silat itu, tendangan diberikan keras, namun tak boleh mengenai bagian tubuh atas. Sajian seni budaya tersebut, mulai dari angklung gubrag, silat tepak dua, silat tepak tujuh dan silat Cimande, adalah kemasan untuk kampung adat. Jangan sampai seni tersebut hanya menjadi pemanis revitalisasi kampung adat. Fungsi angklung gubrag dalam kerangka seni tradisi sebagai ritual harus tetap dikerjakan. Fungsi kampung adat, tak sekedar sebagai tempat suguhan budaya, melainkan untuk motor budaya kuno dalam kutub pemikiran.
Meminjam istilah Adorno, kitsch adalah fenomena industri budaya (culture industry), seni diposisikan sebagai karya yang dibuat dan dikendalikan oleh kebutuhan pasar. Pasarlah yang menentukan apa yang disebut seni. Masyarakat hanyalah konsumen yang pasif menerima definisi itu.
Kearifan lokal, bukanlah sekedar tontonan namun juga memiliki nilai kebudayaan. Budaya bukanlah sekedar merestorasi bangunan masa lalu. Akan tetapi, budaya adalah tetap menjalankan nilai adiluhung warisan leluhur. Adakah kitsch menguasai Sindangbarang? Hal ini dikembalikan kepada kesadaran budaya kita masing-masing.(Bagus Ary Wicaksono)
Longok juga tulisan tentang budaya di http://jurnalragam.blogspot.com/2013/08/kitsch-di-kampung-adat-sindangbarang.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar